MAKALAH
DIBUAT GUNA MEMENUHI TUGAS
MATAKULIAH AGAMA ISLAM
DI SUSUN
OLEH :
NAMA
: TRIYONO
NIM
: 1205451021
FAKULTAS FISIP
(ADMINISTRASI NEGARA )
UNIVERSITAS
PURWAKARTA
JL. Let.Jend Basuki Rahmat no.25 (0264)
207809
P U R W A K A R T A
2012
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim.
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah
ini.
Penulis menyadari, dengan kesadaran akan suatu kenyataan bahwa
pengetahuan dan pengalaman penulis sangat terbatas, maka baik bentuk maupun isi
dari Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu segala bentuk saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan Makalah ini.
Pada Kesempatan ini penulis memaparkan pengertian hukum dan sangsi dalam
hukum islam, untuk mengambil salah satu spesifiknya yang berjudul “ Pembunuhan
dalam Perspektif hukum Islam.”
Seluruh teman dan
kerabat yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih banyak karena
secara langsung maupun tidak langsung semuanya telah memberikan banyak
pembelajaran tentang arti kehidupan.
Penulis hanya dapat memohon semoga Allah SWT memberikan balasan yang
lebih baik kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyelesaian Makalah
ini.
Akhir kata, semoga Allah SWT selalu meridhoi setiap langkah kita di masa
lalu, sekarang dan yang akan datang. Amin
Purwakarta, November 2012
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas-aktivitas
yang bernuansa hukum. Selama kita melakukan suatu aktivitas, kita berarti
melakukan tindakan hukum. Permasalahannya adalah, tidak banyak orang yang
menyadari bahwa dirinya telah melakukan aktivitas hukum. Agar kita menyadari
dan memahami bahwa kita telah melakukan aktivitas hukum, maka kita harus
memahami apa dan bagaimana sebenarnya hukum itu.
Setiap
Muslim seharusnya (atau bisa dikatakan wajib) memahami hukum dan
permasalahannya, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim sehari-hari
tidak bisa lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia melakukan
ibadah kepada Allah atau ketika dia melakukan hubungan sosial (muamalah) di
tengah-tengah masyarakat. Permaslahan yang muncul sama seperti di atas, yakni
tidak sedikit kaum Muslim yang belum memahami hukum Islam, bahkan sama sekali
tidak memahaminya, sehingga aktivitasnya banyak yang belum sesuai atau
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Memahami
hukum Islam secara mendalam bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan
kualifikasi yang cukup untuk melakukan hal itu dan juga membutuhkan waktu yang
tidak sebentar. Untuk melaksanakan hukum Islam diperlukan pemahaman yang benar
terhadap hukum Islam. Pemahaman terhadap hukum Islam masih menyisakan berbagai
persoalan, mulai dari pemahaman istilah atau konsep hukum Islam itu sendiri dan
beragamnya pendapat yang ada dalam setiap persoalan hukum Islam.
Makalah in
di buat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam dengan Judul Makalah “ Sangsi dalam Hukum Islam “, Kami
mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dimana itu semua dapat membuat
makalah atau tulisan yang lebih baik dan sempurna lagi. Dalam Makalah ini di ungkap
hanya sebatas menerangkan sangsi dan penerapan hokum islam .
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perkataan
asas berasal dari bahasa Arab, asasun. Artinya dasar, basis,
pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud dengan asas
adalah landasan bepikir yang sangat mendasar. Oleh karna itu, di dalam bahasa
Indonesia, asas mempunyai arti (1) dasar, alas, pondamen ( Poerwadarminta,
1976:60 ). Asas dalam pengertian ini dapat dilihat misalnya, dalam urutan yang
disesuaikan pada kata-kata : …” batu ini baik benar untuk pondamen atau pondasi
rumah”, (2) kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat. Makna ini
terdapat misalnya dalam ungkapan” parnyataan ini bertentangan dengan asas-asas
hukum pidana”; (3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau Negara. Hal ini
jelas dalam kalimat: “ Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila.”
Jika kata
asas dikaitkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam
penegakan dan pelaksanaan hukum pidana, misalnya, seperti disinggung diatas
adalah tolak ukur dalam pelaksanaan hukum pidana. Asas hukum, pada umumnya
berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah berkenaan dengan
hukum.
Asas hukum
islam berasal dari hukum islam terutama Al-Qur’an dan Al- Hadist yang
dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad.
Asas-asas hukum islam banyak, disamping asas-asas yang berlaku umum,
masing-masing bidang dan lapangan mempunyai asasnya sendiri-sendiri.
B.
Beberapa Asas Hukum Islam
BPHI-BPHN Departemen Kehakiman
Tim pengkaji
hukum islam Badan Pembinaan Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984. Menyebukan beberapa
hukum islam yang (1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana, dan (3)
lapangan hukum perdata, sebagai contoh. Asas-asas hukum lapangan hukum tata
Negara, internasional dan hukum islam lainnya tidak disebut dalam laporan itu.
Sebagai sumbangan
dalam penyusunan asas-asas hukum nasional, tim itu hanya mengedepankan :
1.
Asas-asas Umum
Asas-asas umum hukum islam yang
meliputi semua bidang dan segala lapangan hukum islam adalah .
a.
Asas keadilan,
b.
Asas kepastian hukum, dan
c.
Asas kemanfaatan.
2.
Asas-asas dalam lapangan hukum
pidana
Asas-asas dalam lapangan hukum
pidana islam antara lain adalah
a.
Asas legalitas,
b.
Asas larangan memindahkan
kesalahan pada orang lain,
c.
Asas praduga tidak bersalah.
3.
Asas-asas dalam lapanga hukum
perdata
Asas-asas dalam lapangan hukum
perdata islam antara lain adalah
a.
Asas kebolehan atau mubah.
b.
Asas kemaslaharan hidup .
c.
Asas kebebasan dan kesukarelaan.
d.
Asas menolak mudarat, mengambil
manfaat.
e.
Asas kebajikan.
f.
Asas kekeluargaan.
g.
Asas adil dan berimbang.
h.
Asas mendahulukan kewajiban dari
hak .
i.
Asas larangan merugikan diri
sendiri dan orang lain.
j.
Asas kemampuan berbuat.
k.
Asas kebebasan berusaha.
l.
Asas mendapatkan hak karena usaha
dan jasa.
m.
Asas perlindungan hak.
n.
Asas hak milik berfungsi social.
o.
Asas yang beritikad baik harus
dilindungi.
p.
Asas resiko dibebankan pada benda
atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja.
q.
Asas mengatur sebagai petunjuk.
r.
Asas perjanjian tertulis atau
diucapkan di depan saksi.
C.
Asas-asas Hukum Islam
1.
Azas Nafyul Haraji
Meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam
dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf.
Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada
tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu
digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2.
Azas Qillatu Taklif
Tidak membahayakan taklifi, artinya hukum
Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3.
Azas Tadarruj
Bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum
Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan
manusia.
4.
Azas Kemuslihatan Manusia
Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi
sesuatu yang ada dilingkungannya.
5.
Azas Keadilan Merata
Artinya hukum Islam sama keadaannya tidak
lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6.
Azas Estetika
Artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita
untuk mempergunakan /memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7.
Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang
Berkembang Dalam Masyarakat
Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa
memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8.
Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam
Artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal
memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna
memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam
menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
Sebuah buku karya Syaikh
Abdurrahman al-Maliki dan Syaikh Ahmad ad-Da’ur rahimahumallah yang berjudul
“Nizham al-’Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat“. Buku terjemahnya berjudul “Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam
Islam”. Islam sebagai agama paripurna yang mengatur seluruh aspek
kehidupan, termasuk dalam sistem sanksi (uqubat). Dalam Islam, sanksi
dijatuhkan kepada orang yang berdosa tanpa membedakan apakah ia pejabat,
rakyat, orang kaya atau miskin, juga apakah ia laki-laki atau perempuan. Sistem
sanksi dilaksanakan oleh pemerintah sebagai pelaksana negara.
Berikut
ini adalah fungsi hukum Islam.
1.
Sebagai Upaya Pencegahan
(Zawajir)
Sistem sanksi dalam Islam dijatuhkan di dunia bagi si pendosa. Hal
ini akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Itulah alasan mengapa sanksi
dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) karena sanksi akan mencegah
orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal.
2. Sebagai Penebus Dosa
(Jawabir)
Sistem sanksi dalam Islam pun berfungsi sebagai penebus. Dikatakan
sebagai penebus karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksinya di
akhirat kelak. Atas dasar itu, seseorang yang telah mendapat sanksi syariat di
dunia, maka gugurlah sanksinya di akhirat.
Dari penjelasan tersebut, kita bisa melihat kekhasan hukum Islam
dengan hukum positif yang ada di negeri ini. Sanksi dalam Islam dijatuhkan
kepada pelaku walaupun terdapat saling rida karena yang melandasinya adalah
semata-mata keimanan kepada Allah swt.
Sanksi dibagi menjadi empat:
1) hudûd;
2) jinâyât;
3) ta‘zîr; dan
4) mukhâlafât.
Kadang-kadang, istilah hudûd, jinâyât, ta‘zîr dan mukhâlafât juga
dikonotasikan untuk tindak pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat
istilah tersebut masing-masing bisa diartikan dalam konteks sanksinya maupun
tindak pelanggarannya.
Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi zina bisa disebut dengan
hudûd.
Begitu pula untuk istilah lainnya.
1. Hudûd
Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam
kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak
diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt.
Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa
dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.
Hudûd
dibagi menjadi enam:
(1) zina dan liwâth
(homoseksual dan lesbian);
(2) al-qadzaf (menuduh
zina orang lain);
(3) minum khamr;
(4) pencurian;
(5) murtad;
(6) hirâbah atau
bughât.
Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan
(ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang
berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi rajam. Sanksi
homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah
cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh
dilebihkan dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika
telah memenuhi ‘syarat-syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan.
Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai
sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri
barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya
tidak boleh dikenai hukuman potong tangan.
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak
mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya
saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad
untuk kembali kepada Islam.Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi
berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta
saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya
menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke
tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman
mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh
dan disalib.
Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai
mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya
saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang melawan orang kafir.
Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan
jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan
senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka
menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka
tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh
dijadikan sebagai ghanîmah
2. Jinâyât
Jinâyât adalah penyerangan terhadap manusia.
Jinâyât dibagi dua:
(1) penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan);
(2) penyerangan terhadap organ tubuh.
Kasus
jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat,
atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis;
(1)
pembunuhan sengaja;
(2) mirip
disengaja;
(3) tidak
sengaja;
(4)
karena ketidaksengajaan.
Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban
boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau
menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib
membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting.
Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta,
dan 40 ekor di antaranya bunting. Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’)
diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang melakukan suatu perbuatan yang
tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa sengaja ternyata
mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung, namun
terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya
kafir harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah
masuk Islam. Pada jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100
ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak
memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam
kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat.
Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan
membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan
berturut-turut.
Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik
terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash
untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali
pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya
saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada
kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja?
Menurut fukaha, jika penyerangannya secara
sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat
yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai
tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam
kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak
ada qishash.
Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala
ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan.
Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut;
misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang
masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak
disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil.
3. Ta‘zîr
Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di
dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan
berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku,
politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr. Abdurrahman al-Maliki
mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh:
(1) pelanggaran terhadap kehormatan;
(2) penyerangan terhadap nama baik;
(3)
tindak yang bisa merusak akal;
(4) penyerangan
terhadap harta milik orang lain;
(5) ganggungan terhadap keamanan atau privacy;
(6) mengancam keamanan Negara;
(7) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama;
(8) kasus-kasus ta‘zîr lainnya.
4. Mukhâlafât
Dr. Abdurrahman
al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr. Pemisahan ini tentunya
berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhâlafah dalam bab
ta‘zîr. Menurut beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan ta’zir. Oleh karena
itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan terpisah dari ta‘zîr. Menurut beliau,
mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik
yang berwujud larangan maupun perintah.
Inilah gambaran umum
yang bisa kita sarikan dari kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm karya ‘Allamah
Dr. ‘Abdurahman al-Maliki. Akhir kata, terciptanya keadilan dan rasa aman di
tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya Negara yang kuat amat ditentukan
oleh ketangguhan sistem peradilannya. Ketangguhan sistem peradilan suatu negara
ditentukan oleh ketangguhan sistem sanksinya. Untuk itu, memahami sistem
persanksian di dalam Islam merupakan perkara urgen yang telah menjadi sebuah
keniscayaan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Itulah beberapa hal penting terkait dengan
hukum Islam. Memahami hukum Islam secara utuh membutuhkan perhatian dan
keseriusan khusus. Tidak sedikit dari umat
Islam yang tidak peduli dengan masalah ini, meskipun sebenarnya setiap Muslim
dituntut untuk memiliki pemahaman yang cukup tentang hukum Islam, minimal untuk
mendasarinya dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.
Apa yang diuraikan di atas bukanlah
dasar-dasar pokok untuk melaksanakan aturan- aturan hukum Islam, akan tetapi
hanyalah sebagai pengantar untuk dapat memahami hakikat hukum Islam.
Karena itu, dibutuhkan perhatian khusus untuk dapat mengungkap aturan-aturan
hukum Islam yang lebih rinci lagi.
B.
Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai
prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam diatas, yang menjadi inti pemahaman
prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam dapat diketahui atau diarahkan pada
tujuan penyariatan syariat Islam itu sendiri dan apa yang akan dibawa hukum
Islam untuk mencapai tujuannya.
Hal tersebut adalah sebagai berikut :
1. Islam telah meletakkan di dalam undang-undang
dasarnya, beberapa prinsip yang mantap dan kekal, seperti prinsip menghindari
kesempitan dan menolak mudarat, wajib berlaku adil dan bermusyawarah dan
memelihara hak, menyampaikan amanah,
2. Dalam dasar-dasar ajarannya, Islam berpegang
dengan konsisten pada perinsip mementingkan pembinaan mental individu
khususnya, sehingga ia menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat, karena apabila
individu telah menjadi baik maka masyarakat dengan sendirinya akan baik pula.
3. Syari‟at Islam, dalam berbagai ketentuan hukumnya,
berpegang dengan konsisten pada prinsip memelihara kemaslahatan manusia dalam
kehidupan dunia dan akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
Daud
Muhammad, Prof. S.H, Hukum Islam, Rajawali Pres, Jakarta, 1998
Marzuki,
DR. M.Ag, Makalah Memahami Hakikat Hukum Islam, diakses pada tanggal 04
Nopember 2012
Hakim
Nurul, Makalah Prinsip-prinsip dan Asas-asas Hukum Islam, diakses pada
tanggal 04 Nopember 2012