Home » » Sangsi dalam hukum Islam

Sangsi dalam hukum Islam

Written By AKTUAL NEWS ONLINE on Wednesday, March 13, 2013 | 3:52 PM


MAKALAH
DIBUAT GUNA MEMENUHI TUGAS
MATAKULIAH AGAMA ISLAM







DI SUSUN OLEH :
 NAMA        : TRIYONO
                                                               NIM            : 1205451021
FAKULTAS FISIP
(ADMINISTRASI NEGARA )









UNIVERSITAS PURWAKARTA
JL. Let.Jend Basuki Rahmat no.25 (0264) 207809
P U R W A K A R T A
2012





KATA PENGANTAR


Bismillahirrohmaanirrohiim.
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini.
Penulis menyadari, dengan kesadaran akan suatu kenyataan bahwa pengetahuan dan pengalaman penulis sangat terbatas, maka baik bentuk maupun isi dari Makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu segala bentuk saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan Makalah ini.
Pada Kesempatan ini penulis memaparkan pengertian hukum dan sangsi dalam hukum islam, untuk mengambil salah satu spesifiknya yang berjudul  Pembunuhan dalam Perspektif hukum Islam.”
Seluruh teman dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih banyak karena secara langsung maupun tidak langsung semuanya telah memberikan banyak pembelajaran tentang arti kehidupan.
Penulis hanya dapat memohon semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyelesaian Makalah  ini.
Akhir kata, semoga Allah SWT selalu meridhoi setiap langkah kita di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Amin
Purwakarta,          November   2012
       Penulis
                                                                     
                               





BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas-aktivitas yang bernuansa hukum. Selama kita melakukan suatu aktivitas, kita berarti melakukan tindakan hukum. Permasalahannya adalah, tidak banyak orang yang menyadari bahwa dirinya telah melakukan aktivitas hukum. Agar kita menyadari dan memahami bahwa kita telah melakukan aktivitas hukum, maka kita harus memahami apa dan bagaimana sebenarnya hukum itu.
Setiap Muslim seharusnya (atau bisa dikatakan wajib) memahami hukum dan permasalahannya, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim sehari-hari tidak bisa lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia melakukan ibadah kepada Allah atau ketika dia melakukan hubungan sosial (muamalah) di tengah-tengah masyarakat. Permaslahan yang muncul sama seperti di atas, yakni tidak sedikit kaum Muslim yang belum memahami hukum Islam, bahkan sama sekali tidak memahaminya, sehingga aktivitasnya banyak yang belum sesuai atau bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Memahami hukum Islam secara mendalam bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan kualifikasi yang cukup untuk melakukan hal itu dan juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Untuk melaksanakan hukum Islam diperlukan pemahaman yang benar terhadap hukum Islam. Pemahaman terhadap hukum Islam masih menyisakan berbagai persoalan, mulai dari pemahaman istilah atau konsep hukum Islam itu sendiri dan beragamnya pendapat yang ada dalam setiap persoalan hukum Islam.
Makalah in di buat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam dengan Judul Makalah “ Sangsi dalam Hukum Islam “, Kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dimana itu semua dapat membuat makalah atau tulisan yang lebih baik dan sempurna lagi. Dalam Makalah ini di ungkap hanya sebatas menerangkan sangsi dan penerapan hokum islam .















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun. Artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasan bepikir yang sangat mendasar. Oleh karna itu, di dalam bahasa Indonesia, asas mempunyai arti (1) dasar, alas, pondamen ( Poerwadarminta, 1976:60 ). Asas dalam pengertian ini dapat dilihat misalnya, dalam urutan yang disesuaikan pada kata-kata : …” batu ini baik benar untuk pondamen atau pondasi rumah”, (2) kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat. Makna ini terdapat misalnya dalam ungkapan” parnyataan ini bertentangan dengan asas-asas hukum pidana”; (3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau Negara. Hal ini jelas dalam kalimat: “ Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila.”
Jika kata asas dikaitkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum pidana, misalnya, seperti disinggung diatas adalah tolak ukur dalam pelaksanaan hukum pidana. Asas hukum, pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah berkenaan dengan hukum.
Asas hukum islam berasal dari hukum islam terutama Al-Qur’an dan Al- Hadist yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas hukum islam banyak, disamping asas-asas yang berlaku umum, masing-masing bidang dan lapangan mempunyai asasnya sendiri-sendiri.

B.     Beberapa Asas Hukum Islam BPHI-BPHN Departemen Kehakiman
Tim pengkaji hukum islam Badan Pembinaan Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984. Menyebukan beberapa hukum islam yang (1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana, dan (3) lapangan hukum perdata, sebagai contoh. Asas-asas hukum lapangan hukum tata Negara, internasional dan hukum islam lainnya tidak disebut dalam laporan itu.
Sebagai sumbangan dalam penyusunan asas-asas hukum nasional, tim itu hanya mengedepankan :
1.      Asas-asas Umum
Asas-asas umum hukum islam yang meliputi semua bidang dan segala lapangan hukum islam adalah .
a.       Asas keadilan,
b.      Asas kepastian hukum, dan
c.       Asas kemanfaatan.
2.      Asas-asas dalam lapangan hukum pidana
Asas-asas dalam lapangan hukum pidana islam antara lain adalah
a.       Asas legalitas,
b.      Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain,
c.       Asas praduga tidak bersalah.
3.      Asas-asas dalam lapanga hukum perdata
Asas-asas dalam lapangan hukum perdata islam antara lain adalah
a.       Asas kebolehan atau mubah.
b.      Asas kemaslaharan hidup .
c.       Asas kebebasan dan kesukarelaan.
d.      Asas menolak mudarat, mengambil manfaat.
e.       Asas kebajikan.
f.       Asas kekeluargaan.
g.      Asas adil dan berimbang.
h.      Asas mendahulukan kewajiban dari hak .
i.        Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain.
j.        Asas kemampuan berbuat.
k.      Asas kebebasan berusaha.
l.        Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa.
m.    Asas perlindungan hak.
n.      Asas hak milik berfungsi social.
o.      Asas yang beritikad baik harus dilindungi.
p.      Asas resiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja.
q.      Asas mengatur sebagai petunjuk.
r.        Asas perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi.

C.     Asas-asas Hukum Islam
1.      Azas Nafyul Haraji
Meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2.      Azas Qillatu Taklif
Tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3.      Azas Tadarruj
Bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4.      Azas Kemuslihatan Manusia 
Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
5.      Azas Keadilan Merata 
Artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6.      Azas Estetika
Artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan /memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7.   Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat 
Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8.   Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam
Artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
Sebuah buku karya Syaikh Abdurrahman al-Maliki dan Syaikh Ahmad ad-Da’ur rahimahumallah yang berjudul “Nizham al-’Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat“. Buku terjemahnya berjudul “Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam”. Islam sebagai agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam sistem sanksi (uqubat).  Dalam Islam, sanksi dijatuhkan kepada orang yang berdosa tanpa membedakan apakah ia pejabat, rakyat, orang kaya atau miskin, juga apakah ia laki-laki atau perempuan. Sistem sanksi dilaksanakan oleh pemerintah sebagai pelaksana negara.
Berikut ini adalah fungsi hukum Islam.
1.     Sebagai Upaya Pencegahan (Zawajir)
Sistem sanksi dalam Islam dijatuhkan di dunia bagi si pendosa. Hal ini akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Itulah alasan mengapa sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) karena sanksi akan mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal.
2. Sebagai Penebus Dosa (Jawabir)
Sistem sanksi dalam Islam pun berfungsi sebagai penebus. Dikatakan sebagai penebus karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksinya di akhirat kelak. Atas dasar itu, seseorang yang telah mendapat sanksi syariat di dunia, maka gugurlah sanksinya di akhirat. 
Dari penjelasan tersebut, kita bisa melihat kekhasan hukum Islam dengan hukum positif yang ada di negeri ini. Sanksi dalam Islam dijatuhkan kepada pelaku walaupun terdapat saling rida karena yang melandasinya adalah semata-mata keimanan kepada Allah swt. 
Sanksi dibagi menjadi empat:
1) hudûd;
2) jinâyât;
3) ta‘zîr; dan
4) mukhâlafât.
Kadang-kadang, istilah hudûd, jinâyât, ta‘zîr dan mukhâlafât juga dikonotasikan untuk tindak pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing bisa diartikan dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya.
Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi zina bisa disebut dengan hudûd.
Begitu pula untuk istilah lainnya.

1. Hudûd
Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.
 Hudûd dibagi menjadi enam:
(1) zina dan liwâth (homoseksual dan lesbian);
(2) al-qadzaf (menuduh zina orang lain);
(3) minum khamr;
(4) pencurian;
(5) murtad;
(6) hirâbah atau bughât. 
Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat-syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan. 
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan disalib. 
Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanîmah

2. Jinâyât
Jinâyât adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua:
(1) penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan);
(2) penyerangan terhadap organ tubuh.
 Kasus jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis;
 (1) pembunuhan sengaja;
 (2) mirip disengaja;
 (3) tidak sengaja;
 (4) karena ketidaksengajaan. 
Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting. Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting. Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung, namun terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Pada jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat. Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. 
Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja?
Menurut fukaha, jika penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash. 
Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil. 

3. Ta‘zîr 
Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh:
(1) pelanggaran terhadap kehormatan;
(2) penyerangan terhadap nama baik;
 (3) tindak yang bisa merusak akal;
 (4) penyerangan terhadap harta milik orang lain;
(5) ganggungan terhadap keamanan atau privacy;
(6) mengancam keamanan Negara;
(7) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama;
(8) kasus-kasus ta‘zîr lainnya. 

4. Mukhâlafât 
Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr. Pemisahan ini tentunya berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhâlafah dalam bab ta‘zîr. Menurut beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan ta’zir. Oleh karena itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan terpisah dari ta‘zîr. Menurut beliau, mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.
Inilah gambaran umum yang bisa kita sarikan dari kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm karya ‘Allamah Dr. ‘Abdurahman al-Maliki. Akhir kata, terciptanya keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya Negara yang kuat amat ditentukan oleh ketangguhan sistem peradilannya. Ketangguhan sistem peradilan suatu negara ditentukan oleh ketangguhan sistem sanksinya. Untuk itu, memahami sistem persanksian di dalam Islam merupakan perkara urgen yang telah menjadi sebuah keniscayaan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Itulah beberapa hal penting terkait dengan hukum Islam. Memahami hukum Islam secara utuh membutuhkan perhatian dan keseriusan khusus. Tidak sedikit dari  umat Islam yang tidak peduli dengan masalah ini, meskipun sebenarnya setiap Muslim dituntut untuk memiliki pemahaman yang cukup tentang hukum Islam, minimal untuk mendasarinya dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.
Apa yang diuraikan di atas bukanlah dasar-dasar pokok untuk melaksanakan aturan- aturan hukum Islam, akan tetapi hanyalah sebagai pengantar untuk dapat memahami  hakikat hukum Islam. Karena itu, dibutuhkan perhatian khusus untuk dapat mengungkap aturan-aturan hukum Islam yang lebih rinci lagi. 

B.     Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam diatas, yang menjadi inti pemahaman prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam dapat diketahui atau diarahkan pada tujuan penyariatan syariat Islam itu sendiri dan apa yang akan dibawa hukum Islam untuk mencapai tujuannya.
Hal tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Islam telah meletakkan di dalam undang-undang dasarnya, beberapa prinsip yang mantap dan kekal, seperti prinsip menghindari kesempitan dan menolak mudarat, wajib berlaku adil dan bermusyawarah dan memelihara hak, menyampaikan amanah,
2.      Dalam dasar-dasar ajarannya, Islam berpegang dengan konsisten pada perinsip mementingkan pembinaan mental individu khususnya, sehingga ia menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat, karena apabila individu telah menjadi baik maka masyarakat dengan sendirinya akan baik pula.
3.      Syariat Islam, dalam berbagai ketentuan hukumnya, berpegang dengan konsisten pada prinsip memelihara kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.






DAFTAR PUSTAKA

Daud Muhammad, Prof. S.H, Hukum Islam, Rajawali Pres, Jakarta, 1998
Marzuki, DR. M.Ag, Makalah Memahami Hakikat Hukum Islam, diakses pada tanggal 04 Nopember 2012
Hakim Nurul, Makalah Prinsip-prinsip dan Asas-asas Hukum Islam, diakses pada tanggal 04 Nopember 2012



Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ZONA INFORMASI PENDIDIKAN KESEHATAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger