Latest Post

Mental Korupsi

Written By AKTUAL NEWS ONLINE on Friday, August 16, 2013 | 1:48 AM



BAB  I

A.    Sejarah Pemberantasan Korupsi
-    Orde Lama
Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemerikasaan Tindak Pidana Korupsi.
-    Orde Baru
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-    Orde Reformasi
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001.

B.    Definisi dan Jenis Korupsi
1.    Definisi Korupsi
Disimak dari terminologi korupsi yang berasal dari kata latin corruption atau corruptus yang berasal dari kata corrumpere suatu kata lain. Dalam beberapa bahasa di Eropa seperti bahasa Inggris corruption, corrupt, bahasa Perancis dengan kata corruption dan bahasa Belanda menggunakan kata corruptie yang selanjutnya menjadi korupsi dalam bahasa Indonesia. Sedangkan di Malaysia ditemukan istilah resuah yang berasal dari bahasa Arab (riswah) yang artinya sama dengan korupsi dalam bahasa Indonesia.
Secara sempit korupsi adalah penyalahgunaan jabatan public untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
2.    Jenis Korupsi
a)    Tarnstactive Corruption    : (Suap)
b)    Extortive Corruption    : (Pungli)
c)    Insentive Corruption    : (Gratifikasi)
d)    Nepotistic Corruption    : (Nepotisme)
e)    Autogenic Corruption    : (Pemberian Informasi)
f)    Supportive Corruption    : (Melindungi Kelompok)

C.    Ciri – ciri Korupsi
1.    Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
2.    Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia.
3.    Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
4.    Mereka yang terlibat langsung adalah yang meginginkan keputusan yang tegas dan mereka yang mampu mempengaruhi keputusan itu.
5.    Tindakan korupsi mengandung penipuan baik pada badan publik atau masyarakat umum.
6.    Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggung jawaban dalam tahanan masyarakat.



D.    Sebab – sebab Korupsi di Indonesia
1.    Kerawanan kondisi social ekonomi.
2.    Kerusakan moral
3.    Kelemahan sistem
4.    Birokrasi administrasi yang kacau
5.    Adm. Pemerintah tidak The Right Man In The Right Place/Nepotisme
6.    Memanfaatkan kelemahan UU/Peraturan
7.    Wewenang yang kurang kendali
8.    Sistem manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien
9.    Faktor sosial budaya malu
10.    Aji mumpung
11.    Gaya hidup


BAB II

A.    Pendekatan (Cara Pandang)
1.    Melihat korupsi sebagai suatu tindak pidana saja akan membatasi pendekatan kita terhadap korupsi.
2.    Pada kenyataannya korupsi lebih merupakan sebuah attitude/perilaku  atau hasil dari sistem yang lemah / buruk.
3.    Korupsi tidak hanya berbicara tentang bad people, tetapi juga merupakan gambaran dari bad systems.
4.    Dilihat dari sebabnya, korusi dapat dibagi 2 :
a.    Corruption by need
Perbaikan penggajian dan sistem penggajian yang perlu upaya sistematis dan melibatkan berbagai instansi.
b.    Corruption by greed
Penegakkan hukum diyakini sebagai upaya yang lebih efektif agar tidak lagi terjadi kejahatan-kejahatan yang sama.

B.    Politik (Kebijakan) Hukum Pemberantasan Korupsi
1.    Kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
2.    Penguatan sanksi untuk menimbulkan efek jera (hukuman minimum)
3.    Pencegahan di samping penindakan
4.    Penindakan pada kasus-kasus “besar”
5.    Lembaga khusus (extra ordinary body)
6.    Partisipasi masyarakat
7.    Kerjasama internasional
C.    Korupsi Sebagai Produk Sistem yang Buruk
1.    Sistem Hukum    : Peraturan, Peradilan, dan Pelayanan Hukum
2.    Sistem Politik        : Pemilu, Kepartaian, Pemerintahan, dll
3.    Sistem Sosial        : Status sosial (appearance lebih utama ketimbang                   performance)
4.    Sistem Budaya    : Upeti, Hadiah, Gratifikasi
5.    Sistem Birokrasi    : Struktur, Kinerja, Loyalitas, dll
(Adm. pemerintahan)

D.    Modus Operandi Korupsi
Dari berbagai kasus yang ditanda tangani Kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya ditemukan bentuk-bentuk cara melakukan korupsi menggunakan modus :

Formasi Penetapan PNS 2013

Rapat Koordinasi di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan menyelenggarakan Pengadaan CPNS 2013 yang bertempat di Balai Kartini pada tanggal 18 Juli 2013. Tujuan Rapat tersebut dalam rangka membangun persepsi yang sama mengenai pelaksanaan reformasi birokrasi dibidang pengadaan CPNS bagi seluruh pejabat pembina kepegawaian intansi pemerintah pusat dan dDerah. Dalan rekor tersebut disampaikan penetapan Formasi CPNS untuk pelamaran umum pada Kementrian/Lembaga dan Pemerintahan Daerah Tahun 2013.
Sehari sebelumnya(17/7), dalam rangka persiapan Rakor tersebut Menteri PANRB, Azwar Abubakar mengatakan, bahwa dalam reformasi bidang pengadaan CPNS diharapkan pemerintah akan memperoleh putra putri terbaik bangsa menjadi CPNS. Azwar Abubakar menyatakan, pemerintah akan memperoleh kepercayaan kembali dari masyarakat, bahwa pemerintah berlaku adil dan menjamin hak yang sama untuk dapat mengikuti tes menjadi CPNS. Dengan harapan demikian, akan mendorong juga para pemuda Indonesia untuk belajar dengan baik, karena secara dini mempersiapkan diri dengan baik adalah kunci untuk bisa berkompetisi menjadi CPNS.
Dalam rapat koordinasi diharapkan juga terdapat kesamaan pandangan dalam hal penyiapan dan pelaksanaan pengadaan CPNS Tahun 2013 meliputi Tes Bagi Honorer k-2 dan Pelamar Umum.
Jumlah honorer k-2 yang akan ikut seleksi sekitar 611.692 terdiri dari instansi pusat sejumlah 72.064 dan instansi pemerintah daerah sejumlah 539.632. Disamping itu Pemerintah akan menerima CPNS dari pelamar umum meliputi 295 instansi yang akan menggelar seleksi CPNS dimaksud, terdiri dari 68 lementrian/lembaga dengan jumlah formasi 20.000 orang sedangkan 40.000 orang untuk 30 pemerintah provinsi, serta 197 kabupaten/kota.
Pelaksanaan tes bagi CPNS yang berasal dari Tenaga Honorer K-2 akan dilakukan menggunakan Lembar Jawaban Komputer (LJK), sedangkan bagi pelamar umum perinsipnya dilakukan dengan menggunakan Computer Asisted Tes (CAT). Saat ini dikantor pusat BKN tersedia 2 CAT station dengan kapasitas 140 komputer. Di daerah tersedia 600 komputer yang terbesar di 12 kantor regional (kanreg), masing-masing 50 komputer. keduabelas kanreg yang dimaksud adalah Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Makasar, Jakarta, Medan, Palembang, Banjarmasin, Denpasar, Manado, Pekanbaru, dan Jayapura (dalam proses). Sebagai contoh, instansi yang memiliki 100 unit  personal computer (PC), dapat melaksanakan tes dengan sistem CAT bagi 500 orang setiap hari (5 sesi) atau 3.000 peserta dalam seminggu (6 hari kerja).

Kebijakan Afirmasi
Tahun 2013 ini pemerintahan juga akan mengakomodir pelamar umum dari penyandang cacat, pemuda-pemudi Papua yang potensial, serta atlet berprestasi, yang jumlahnya banyak 565 formasi.
Untuk penyandang cacat/disabilitas bagi K/L dialokasikan 62 formasi, dan untuk Daerah sebanyak 263 formasi. Untuk putra putri potensial Papua disediakan 100 formasi, yang akan ditempatkan disejumlah K/L. Adapun formasi untuk atlet berprestasi sebagai pelatih olahraga sebanyak 140 formasi, untuk ditempatan di Provinsi dan Kabupaten/kota. Sistem seleksi terhadap kebijakan afirmasi tersebut, sama dengan seleksi untuk pelamaran umum yang lain. Khusus untuk Papua seleksi sesama putra/putri Papua. 
Sumber : (im/HUMASMENPANRB).
 

Pemilihan Guburnur Langsung Atau Oleh DPRD Punya Kelebihan Dan Kekurangan.

Written By AKTUAL NEWS ONLINE on Wednesday, March 13, 2013 | 4:01 PM

Pemilihan Guburnur Langsung Atau Oleh DPRD Punya Kelebihan Dan Kekurangan.


Mekanisme pemilihan gubernur baik secara langsung maupun tidak langsung melalui DPRD, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Di satu sisi pemilihan gubernur  oleh DPRD   akan memperkuat posisi gubernur sebagai kepanjangan pemerintah pusat di daerah.
Dengan  demikian gubernur, tidak lagi hanya sebatas koordinasi  dengan bupati/wali kota, tetapi  bisa menindak tegas kebijakan bupati/wali kota yang bertentangan dengan pemerintah pusat.
” Selama inikan wewenang gubernur sangat kurang hingga,  bupati/wali kota menjadi raja kecil dan sepenuhnyai dalam mengambil kebijakan. Gubernur tidak berdaya menindaknya sebab mereka berlindung di balik aturan otonomi daerah.

Dilihat dari sisi Finansial.
Ditinjau dari sudut pembiayaan, pemilihan melalui DPRD praktis lebih hemat. Meski demikian, jika gagasan penyelenggaraan pemilu kada serentak diterapkan, sudah barang tentu bisa menekan biaya seminimal mungkin. Hanya saja pemilu kada serentak membutuhkan masa transisi dan harus menghindari kampanye terbuka. 

Namun pada sisi lain,  pemilihan  gubernur oleh DPRD, pun bukan jaminan  dana yang dikeluarkan  calon gubenur yang maju makin sedikit. Bahkan, juga tetap memiliki potensi terjadi suap. Pasalnya, para calon akan mendekati fraksi-fraksi di DPRD untuk mendapatkan perahu mencalonkan diri.
Bisa jadi biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan perahu itu lebih besar daripada mengikuti pemilihan langsung.
Para partai politik yang berhak mengajukan calon gubernur,  tidak tertutup kemungkinan akan memanfaatkan pemilihan gubernur ini untuk memperoleh dana besar.
Memang diakuinya,  potensi konflik setelah pilkada juga harus dipertimbangkan. Kenyataannya sejumlah pilkada di Indonesia justru menimbulkan konflik di daerah.
Oleh karena itu sebelum,  Pemerintah dan DPRRI membahas draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda),  dimana pemerintah mengusulkan penghapusan usulan pemilihan langsung akan lebih baik terlebih dahulu menyerap aspirasi lapisan masyarakat dan pemerintah di daerah .
“Aspirasi masyarakat dan pemerintah di daerah sangat penting diserap untuk menentukan mekanisme pilgub.




Dilihat dari legitimasi hukum

Dari segi penyalahgunaan kekuasaan, pemilihan melalui DPRD jelas tidak menimbulkan permasalahan. Di lain pihak, penyalahgunaan kekuasaan juga dapat diminimalisasi pada pemilu kada langsung jika dipersyaratkan bahwa calon 'tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepala/wakil kepala daerah'. Persyaratan tersebut tidak secara eksplisit membatasi hak individu, tetapi menekankan pada kewajiban jabatan untuk tidak dimanfaatkan bagi kepentingan pemenuhan hak individu. Ini berarti bahwa persoalan pengunduran diri atau cuti sampai penghitungan suara adalah konsekuensi yang diputuskan calon sendiri atau setidak-tidaknya cukup diatur secara eksplisit dalam peraturan di bawah undang-undang. 
Pemilihan langsung merupakan implementasi dari pelaksanaan demokrasi yang nyata.

Kekurangan (mungkin kelemahan) Pemilu Langsung -- kasus di Indonesia :
1. Biaya sangat mahal (menyedot anggaran negara sangat besar); padahal di saat negara dalam keadaan krisis, uang negara (APBN/APBD) itu bisa dimanfaatkan untuk membangun baru atau rehabilitasi infrastruktur bagi kemaslahatan masyarakat.

2. Masih banyak kendala distribusi kelengkapan pemilu (misal surat suara, kotak suara, dsb) terutama untuk daerah permukiman penduduk (para calon pemilih) di daerah "terpencil," seperti di kepulauan yang sulit dijangkau. Hal ini juga membutuhkan biaya besar dan mempengaruhi kualitas pemilu.

3. Rawan konflik horizontal dan vertikal terutama di kalangan para pendukung partai/dan atau calon tertentu, baik semasa kampanye, masa pemilihan/penghitungan suara; atau saat penetapan pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kasus sering terjadi kantor KPU diserang massa pendukung calon/partai tertentu.

Kelebihan (mungkin kekuatan) Pemilu Langsung :

1. Hasil pemilu mempunyai kekuatan yang "lebih mengikat" antara pemenang dengan pemilih. Di sini harus diabaikan kemungkinan para pemenang (misal anggota DPR, atau bupati) terus lupa terhadap para konstituen (pemilih) / rakyatnya.

2. Menunjukkan pelaksanaan demokratisasi bisa berjalan dengan baik. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani "democratos" yang berarti "dari rakyat untuk rakyat."
Indonesia adalah negara "demokrasi" terbesar di dunia, bila ditinjau dari segi jumlah pemilih dan intensitas pemilu; mulai dari pemilu legislatif (DPR RI / DPRD I / DPR D II); pemilu Presiden, pemilu gubernur, dan pemilu bupati/walikota.

kekurangan pemilu langsung: klo yg sy liat sih, orang2 yg belum melek politik bs dgn mudah disogok utk memilih/mencoblos salah satu kandidat.
kelebihannya: yg pasti sang pemenang pemilu dpt mrasa bahwa dialah pilihan rakyat (legitimasi di mata rakyat lbih kuat)
salah satu buah reformasi yang secara signifikan mengubah pola kehidupan demokrasi bangsa Indonesia adalah penerapan sistem pemilihan langsung kepala daerah. Pilihan berdemokrasi secara langsung ternyata tidaklah mudah diterapkan. Pemilu kada hampir selalu menimbulkan konflik; terhadap sebagian dapat diselesaikan melalui prosedur hukum, tetapi sebagian tidak jarang berdampak komunal, vertikal, dan atau horizontal. 
Untuk sebagian, konflik disebabkan ketidaksiapan elite politik menerima kekalahan, tetapi sebagian besar karena politik uang maupun kecurangan incumbent. Yang terakhir ini umumnya berupa penyalahgunaan fasilitas, dana, dan kepegawaian termasuk penyelenggara pemilu.
Karena itu, pemilu kada langsung yang menghabiskan biaya yang cukup besar berubah menjadi ajang pemilihan 'pemimpin berduit'.
Akibatnya, kepala daerah terpilih cenderung menjadi penguasa zalim yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan tim sukses dan pengembalian modal. Pada gilirannya, masyarakat mulai jenuh dan tidak percaya pada sistem demokrasi. 
Fenomena seperti diuraikan tersebut memunculkan wacana pemilihan gubernur melalui DPRD provinsi, seperti yang pernah dipraktikkan pada masa lalu, dengan penyesuaian seperlunya. Wacana tersebut perlu dibahas dalam rangka penyusunan RUU Pemilu Kada. 
Ditinjau dari sudut konflik, harus diakui bahwa pemilu kada langsung lebih banyak menimbulkan konflik komunal yang cenderung anarkistis. Di lain pihak, pemilihan gubernur melalui DPRD tidak serta-merta tanpa konflik. Pemilihan Gubernur NTB tahun 1998, misalnya, melahirkan konflik etnis yang cukup panas. Lebih dari itu, konflik komunal yang anarkistis telah menjadi 'merek' bangsa kita dan mencakup berbagai aspek karena akar permasalahannya bersumber dari kondisi sosial ekonomi bersamaan dengan lemahnya sistem politik. Karena itu, saya menduga kelemahan-kelemahan dalam pemilu kada langsung hanyalah akselerator politik yang menunggu trigger bagi terjadinya konflik yang bukan tidak mungkin juga bisa 'dibakar' oleh kecurangan akibat pemilihan melalui DPRD.
Ditinjau dari sudut konflik, harus diakui bahwa pemilu kada langsung lebih banyak menimbulkan konflik komunal yang cenderung anarkistis. Di lain pihak, pemilihan gubernur melalui DPRD tidak serta-merta tanpa konflik. Pemilihan Gubernur NTB tahun 1998, misalnya, melahirkan konflik etnis yang cukup panas. Lebih dari itu, konflik komunal yang anarkistis telah menjadi 'merek' bangsa kita dan mencakup berbagai aspek karena akar permasalahannya bersumber dari kondisi sosial ekonomi bersamaan dengan lemahnya sistem politik. Karena itu, saya menduga kelemahan-kelemahan dalam pemilu kada langsung hanyalah akselerator politik yang menunggu trigger bagi terjadinya konflik yang bukan tidak mungkin juga bisa 'dibakar' oleh kecurangan akibat pemilihan melalui DPRD.
Semoga dapat bermanfaat untuk teman-teman yang membutuhkannya sebaga referensi untuk menambah wawasannya.

Adapun Pemilu tidak langsung adalah pemilu yang dilaksanakan oleh para anggota perwakilan di lembaga perwakilan (parlemen). Para pemilih dalam memberikan suara bisa secara langsung (voting) atau melalui mufakat musyawarah; tergantung kesepakatan bersama.
Pemilu tidak langsung memungkinkan untuk memilih misalnya presiden, gubernur, bupati/walikota, atau Ketua RW (di Jakarta).

Kekurangan (mungkin kelemahan) Pemilu Langsung -- kasus di Indonesia :

1. Biaya sangat mahal (menyedot anggaran negara sangat besar); padahal di saat negara dalam keadaan krisis, uang negara (APBN/APBD) itu bisa dimanfaatkan untuk membangun baru atau rehabilitasi infrastruktur bagi kemaslahatan masyarakat.

2. Masih banyak kendala distribusi kelengkapan pemilu (misal surat suara, kotak suara, dsb) terutama untuk daerah permukiman penduduk (para calon pemilih) di daerah "terpencil," seperti di kepulauan yang sulit dijangkau. Hal ini juga membutuhkan biaya besar dan mempengaruhi kualitas pemilu.

3. Rawan konflik horizontal dan vertikal terutama di kalangan para pendukung partai/dan atau calon tertentu, baik semasa kampanye, masa pemilihan/penghitungan suara; atau saat penetapan pemenang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kasus sering terjadi kantor KPU diserang massa pendukung calon/partai tertentu.


Kelebihan (mungkin kekuatan) Pemilu Langsung :

1. Hasil pemilu mempunyai kekuatan yang "lebih mengikat" antara pemenang dengan pemilih. Di sini harus diabaikan kemungkinan para pemenang (misal anggota DPR, atau bupati) terus lupa terhadap para konstituen (pemilih) / rakyatnya.

2. Menunjukkan pelaksanaan demokratisasi bisa berjalan dengan baik. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani "democratos" yang berarti "dari rakyat untuk rakyat."
Indonesia adalah negara "demokrasi" terbesar di dunia, bila ditinjau dari segi jumlah pemilih dan intensitas pemilu; mulai dari pemilu legislatif (DPR RI / DPRD I / DPR D II); pemilu Presiden, pemilu gubernur, dan pemilu bupati/walikota.
Hitunglah, berapa jumlah provinsi dan jumlah kabupaten/kota di Indonesia.

pemilu langsung itu, yg milih rakyat langsung, tp klo pemilu tdk langsung, yg milihnya adalah wakil kita di parlemen (DPR) ky jaman ORBA dulu.
kekurangan pemilu langsung: klo yg sy liat sih, orang2 yg belum melek politik bs dgn mudah disogok utk memilih/mencoblos salah satu kandidat.
kelebihannya: yg pasti sang pemenang pemilu dpt mrasa bahwa dialah pilihan rakyat (legitimasi di mata rakyat lbih kuat)



salah satu buah reformasi yang secara signifikan mengubah pola kehidupan demokrasi bangsa Indonesia adalah penerapan sistem pemilihan langsung kepala daerah. Pilihan berdemokrasi secara langsung ternyata tidaklah mudah diterapkan. Pemilu kada hampir selalu menimbulkan konflik; terhadap sebagian dapat diselesaikan melalui prosedur hukum, tetapi sebagian tidak jarang berdampak komunal, vertikal, dan atau horizontal.

Untuk sebagian, konflik disebabkan ketidaksiapan elite politik menerima kekalahan, tetapi sebagian besar karena politik uang maupun kecurangan incumbent. Yang terakhir ini umumnya berupa penyalahgunaan fasilitas, dana, dan kepegawaian termasuk penyelenggara pemilu.
Karena itu, pemilu kada langsung yang menghabiskan biaya yang cukup besar berubah menjadi ajang pemilihan 'pemimpin berduit'.

Akibatnya, kepala daerah terpilih cenderung menjadi penguasa zalim yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan tim sukses dan pengembalian modal. Pada gilirannya, masyarakat mulai jenuh dan tidak percaya pada sistem demokrasi.

Fenomena seperti diuraikan tersebut memunculkan wacana pemilihan gubernur melalui DPRD provinsi, seperti yang pernah dipraktikkan pada masa lalu, dengan penyesuaian seperlunya. Wacana tersebut perlu dibahas dalam rangka penyusunan RUU Pemilu Kada.


Menimbang langsung atau tidak langsung

Pemilu kada langsung ataupun tidak langsung memiliki kelebihan dan kekurangan. Ditinjau dari sudut konflik, harus diakui bahwa pemilu kada langsung lebih banyak menimbulkan konflik komunal yang cenderung anarkistis. Di lain pihak, pemilihan gubernur melalui DPRD tidak serta-merta tanpa konflik. Pemilihan Gubernur NTB tahun 1998, misalnya, melahirkan konflik etnis yang cukup panas. Lebih dari itu, konflik komunal yang anarkistis telah menjadi 'merek' bangsa kita dan mencakup berbagai aspek karena akar permasalahannya bersumber dari kondisi sosial ekonomi bersamaan dengan lemahnya sistem politik. Karena itu, saya menduga kelemahan-kelemahan dalam pemilu kada langsung hanyalah akselerator politik yang menunggu trigger bagi terjadinya konflik yang bukan tidak mungkin juga bisa 'dibakar' oleh kecurangan akibat pemilihan melalui DPRD.

Ditinjau dari sudut pembiayaan, pemilihan melalui DPRD praktis lebih hemat. Meski demikian, jika gagasan penyelenggaraan pemilu kada serentak diterapkan, sudah barang tentu bisa menekan biaya seminimal mungkin. Hanya saja pemilu kada serentak membutuhkan masa transisi dan harus menghindari kampanye terbuka.

Perlu dicatat bahwa kemahalan biaya pemilu kada tidak terlepas dari regulasi yang rancu/multitafsir, mulai dari inventarisasi pemilih dan rekrutmen calon sampai kampanye dan pemungutan suara. Biaya calon harus dibatasi dan dikontrol secara ketat, terutama anggaran belanja yang seharusnya proporsional dengan pendapatan asli daerah. Jelas, bahwa figur yang telah dikenal dan memiliki integritas dan rekam jejak yang diakui masyarakat luas laku 'dijual' dengan biaya yang relatif lebih murah. Penghematan juga bisa dilakukan melalui penerapan teknologi terpadu (ICT system) yang meskipun mahal pada tahap pertama, relatif murah untuk pemakaian berikutnya.

Dari segi penyalahgunaan kekuasaan, pemilihan melalui DPRD jelas tidak menimbulkan permasalahan. Di lain pihak, penyalahgunaan kekuasaan juga dapat diminimalisasi pada pemilu kada langsung jika dipersyaratkan bahwa calon 'tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepala/wakil kepala daerah'. Persyaratan tersebut tidak secara eksplisit membatasi hak individu, tetapi menekankan pada kewajiban jabatan untuk tidak dimanfaatkan bagi kepentingan pemenuhan hak individu. Ini berarti bahwa persoalan pengunduran diri atau cuti sampai penghitungan suara adalah konsekuensi yang diputuskan calon sendiri atau setidak-tidaknya cukup diatur secara eksplisit dalam peraturan di bawah undang-undang.

Wacana pemilihan gubernur melalui DPRD boleh jadi dipertimbangkan sebagai jalan keluar dari praktik money politic. Namun di beberapa daerah, ternyata telah beredar 'harga' pasaran bahwa setiap anggota DPRD provinsi siap 'menjual' suara dengan nilai antara Rp1,25 miliar-Rp1,5 miliar. Ancaman di-recall oleh partai tidak menyurutkan semangat mereka, karena jumlah uang tersebut lebih besar daripada total penghasilan selama sisa masa keanggotaan. Sikap tersebut bahkan dengan lantang dipublikasikan dengan alasan sebagai 'dana aspirasi(?)'. Jika ditambah biaya partai, seorang calon harus menyiapkan lebih dari Rp50 miliar yang kelak harus dibayar kembali dengan kekuasaan selama masa jabatan. Ini berarti bahwa jabatan gubernur hanya mungkin diduduki orang berduit atau yang dimodali pengusaha.

Permainan 'mata' dalam penyusunan RAPBD sudah mulai tercium. Pada beberapa provinsi, untuk setiap anggota DPRD dialokasikan anggaran 'dana aspirasi' mencapai Rp1 miliar per tahun, diduga sebagai 'panjar' oleh incumbent yang bakal maju lagi dalam pemilihan gubernur periode berikutnya.

Mengungkap praktik money politic melalui anggota DPRD jauh lebih rumit jika dibandingkan yang dibagi kepada rakyat. Yang pertama tergolong tindak pidana korupsi (suap-menyuap) yang pelakunya sama-sama berpendidikan dan cerdik dalam merancang modus. Sebaliknya, mengungkap money politic melalui rakyat relatif lebih mudah karena massal dan penerimanya tidak dikenai sanksi pidana, tetapi pelanggarannya secara masif dan terstruktur semestinya dapat menggugurkan pencalonan.


Pilihan politik bangsa

Mekanisme pemilihan gubernur melalui DPRD benar lebih efisien, tetapi pada akhirnya kesejahteraan rakyat termasuk moral bangsa menjadi taruhannya karena pemimpin yang terpilih cukup bermodalkan uang walau tidak berkualitas, bermoral, dan dikenal rakyatnya sendiri. Sebaliknya, pemilu kada langsung memang membutuhkan biaya penyelenggaraan yang cukup besar, tetapi dapat ditekan dengan pembuatan aturan main yang rigid. Kecurangan dari incumbent juga dapat diminimalisasi jika persyaratan calon ditentukan tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepala/wakil kepala daerah. Pemilihan calon gubernur sebagai wakil pemerintah mempersyaratkan persetujuan presiden dengan parameter kapabilitas dan survei akseptabilitas oleh lembaga independen.

Selain sebagai media investasi pendidikan politik, pemilu kada langsung dapat diperbaiki dengan regulasi yang jelas, pasti, dan lengkap terutama strategi pengawasan dan penindakan money politic. Lembaga pengawas harus diperkuat dengan melibatkan para anggota Polri sebagai pengamat lapangan dan menunjuk lembaga peradilan pemilu yang mengerucut pada Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan akhir.

Pada akhirnya, pilihan menentukan pemilihan gubernur secara langsung atau tidak langsung merupakan kesepakatan politik untuk meminimalisasi kelemahan dari mekanisme yang dipilih. Namun, wacana untuk mengembalikan ke mekanisme DPRD perlu dipertimbangkan lebih matang karena dikhawatirkan menjadi pilihan buruk (set back) yang justru menafikan nilai-nilai demokrasi yang telah menjadi pilihan politik bangsa kita sejak digulirkannya gerakan reformasi nasional selama ini.
Oleh: Farouk Muhammad, Anggota Dewan Perwakilan Daerah

Sangsi dalam hukum Islam


MAKALAH
DIBUAT GUNA MEMENUHI TUGAS
MATAKULIAH AGAMA ISLAM







DI SUSUN OLEH :
 NAMA        : TRIYONO
                                                               NIM            : 1205451021
FAKULTAS FISIP
(ADMINISTRASI NEGARA )









UNIVERSITAS PURWAKARTA
JL. Let.Jend Basuki Rahmat no.25 (0264) 207809
P U R W A K A R T A
2012





KATA PENGANTAR


Bismillahirrohmaanirrohiim.
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini.
Penulis menyadari, dengan kesadaran akan suatu kenyataan bahwa pengetahuan dan pengalaman penulis sangat terbatas, maka baik bentuk maupun isi dari Makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu segala bentuk saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan Makalah ini.
Pada Kesempatan ini penulis memaparkan pengertian hukum dan sangsi dalam hukum islam, untuk mengambil salah satu spesifiknya yang berjudul  Pembunuhan dalam Perspektif hukum Islam.”
Seluruh teman dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih banyak karena secara langsung maupun tidak langsung semuanya telah memberikan banyak pembelajaran tentang arti kehidupan.
Penulis hanya dapat memohon semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyelesaian Makalah  ini.
Akhir kata, semoga Allah SWT selalu meridhoi setiap langkah kita di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Amin
Purwakarta,          November   2012
       Penulis
                                                                     
                               





BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas-aktivitas yang bernuansa hukum. Selama kita melakukan suatu aktivitas, kita berarti melakukan tindakan hukum. Permasalahannya adalah, tidak banyak orang yang menyadari bahwa dirinya telah melakukan aktivitas hukum. Agar kita menyadari dan memahami bahwa kita telah melakukan aktivitas hukum, maka kita harus memahami apa dan bagaimana sebenarnya hukum itu.
Setiap Muslim seharusnya (atau bisa dikatakan wajib) memahami hukum dan permasalahannya, khususnya hukum Islam. Aktivitas seorang Muslim sehari-hari tidak bisa lepas dari permasalahan hukum Islam, baik ketika dia melakukan ibadah kepada Allah atau ketika dia melakukan hubungan sosial (muamalah) di tengah-tengah masyarakat. Permaslahan yang muncul sama seperti di atas, yakni tidak sedikit kaum Muslim yang belum memahami hukum Islam, bahkan sama sekali tidak memahaminya, sehingga aktivitasnya banyak yang belum sesuai atau bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Memahami hukum Islam secara mendalam bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan kualifikasi yang cukup untuk melakukan hal itu dan juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Untuk melaksanakan hukum Islam diperlukan pemahaman yang benar terhadap hukum Islam. Pemahaman terhadap hukum Islam masih menyisakan berbagai persoalan, mulai dari pemahaman istilah atau konsep hukum Islam itu sendiri dan beragamnya pendapat yang ada dalam setiap persoalan hukum Islam.
Makalah in di buat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam dengan Judul Makalah “ Sangsi dalam Hukum Islam “, Kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dimana itu semua dapat membuat makalah atau tulisan yang lebih baik dan sempurna lagi. Dalam Makalah ini di ungkap hanya sebatas menerangkan sangsi dan penerapan hokum islam .















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
Perkataan asas berasal dari bahasa Arab, asasun. Artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan sistem berpikir, yang dimaksud dengan asas adalah landasan bepikir yang sangat mendasar. Oleh karna itu, di dalam bahasa Indonesia, asas mempunyai arti (1) dasar, alas, pondamen ( Poerwadarminta, 1976:60 ). Asas dalam pengertian ini dapat dilihat misalnya, dalam urutan yang disesuaikan pada kata-kata : …” batu ini baik benar untuk pondamen atau pondasi rumah”, (2) kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau pendapat. Makna ini terdapat misalnya dalam ungkapan” parnyataan ini bertentangan dengan asas-asas hukum pidana”; (3) cita-cita yang menjadi dasar organisasi atau Negara. Hal ini jelas dalam kalimat: “ Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila.”
Jika kata asas dikaitkan dengan hukum, yang dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum pidana, misalnya, seperti disinggung diatas adalah tolak ukur dalam pelaksanaan hukum pidana. Asas hukum, pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah berkenaan dengan hukum.
Asas hukum islam berasal dari hukum islam terutama Al-Qur’an dan Al- Hadist yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas hukum islam banyak, disamping asas-asas yang berlaku umum, masing-masing bidang dan lapangan mempunyai asasnya sendiri-sendiri.

B.     Beberapa Asas Hukum Islam BPHI-BPHN Departemen Kehakiman
Tim pengkaji hukum islam Badan Pembinaan Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984. Menyebukan beberapa hukum islam yang (1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana, dan (3) lapangan hukum perdata, sebagai contoh. Asas-asas hukum lapangan hukum tata Negara, internasional dan hukum islam lainnya tidak disebut dalam laporan itu.
Sebagai sumbangan dalam penyusunan asas-asas hukum nasional, tim itu hanya mengedepankan :
1.      Asas-asas Umum
Asas-asas umum hukum islam yang meliputi semua bidang dan segala lapangan hukum islam adalah .
a.       Asas keadilan,
b.      Asas kepastian hukum, dan
c.       Asas kemanfaatan.
2.      Asas-asas dalam lapangan hukum pidana
Asas-asas dalam lapangan hukum pidana islam antara lain adalah
a.       Asas legalitas,
b.      Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain,
c.       Asas praduga tidak bersalah.
3.      Asas-asas dalam lapanga hukum perdata
Asas-asas dalam lapangan hukum perdata islam antara lain adalah
a.       Asas kebolehan atau mubah.
b.      Asas kemaslaharan hidup .
c.       Asas kebebasan dan kesukarelaan.
d.      Asas menolak mudarat, mengambil manfaat.
e.       Asas kebajikan.
f.       Asas kekeluargaan.
g.      Asas adil dan berimbang.
h.      Asas mendahulukan kewajiban dari hak .
i.        Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain.
j.        Asas kemampuan berbuat.
k.      Asas kebebasan berusaha.
l.        Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa.
m.    Asas perlindungan hak.
n.      Asas hak milik berfungsi social.
o.      Asas yang beritikad baik harus dilindungi.
p.      Asas resiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja.
q.      Asas mengatur sebagai petunjuk.
r.        Asas perjanjian tertulis atau diucapkan di depan saksi.

C.     Asas-asas Hukum Islam
1.      Azas Nafyul Haraji
Meniadakan kepicikan, artinya hukum Islam dibuat dan diciptakan itu berada dalam batas-batas kemampuan para mukallaf. Namun bukan berarti tidak ada kesukaran sedikitpun sehingga tidak ada tantangan, sehingga tatkala ada kesukaran yang muncul bukan hukum Islam itu digugurkan melainkan melahirkan hukum Rukhsah.
2.      Azas Qillatu Taklif
Tidak membahayakan taklifi, artinya hukum Islam itu tidak memberatkan pundak mukallaf dan tidak menyukarkan.
3.      Azas Tadarruj
Bertahap (gradual), artinya pembinaan hukum Islam berjalan setahap demi setahap disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia.
4.      Azas Kemuslihatan Manusia 
Hukum Islam seiring dengan dan mereduksi sesuatu yang ada dilingkungannya.
5.      Azas Keadilan Merata 
Artinya hukum Islam sama keadaannya tidak lebih melebihi bagi yang satu terhadap yang lainnya.
6.      Azas Estetika
Artinya hukum Islam memperbolehkan bagi kita untuk mempergunakan /memperhatiakn segala sesuatu yang indah.
7.   Azas Menetapkan Hukum Berdasar Urf yang Berkembang Dalam Masyarakat 
Hukum Islam dalam penerapannya senantiasa memperhatikan adat/kebiasaan suatu masyarakat.
8.   Azas Syara Menjadi Dzatiyah Islam
Artinya Hukum yang diturunkan secara mujmal memberikan lapangan yang luas kepada para filusuf untuk berijtihad dan guna memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya hukum Islam menjadi elastis sesuai dengan perkembangan peradaban manusia.
Sebuah buku karya Syaikh Abdurrahman al-Maliki dan Syaikh Ahmad ad-Da’ur rahimahumallah yang berjudul “Nizham al-’Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat“. Buku terjemahnya berjudul “Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam”. Islam sebagai agama paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam sistem sanksi (uqubat).  Dalam Islam, sanksi dijatuhkan kepada orang yang berdosa tanpa membedakan apakah ia pejabat, rakyat, orang kaya atau miskin, juga apakah ia laki-laki atau perempuan. Sistem sanksi dilaksanakan oleh pemerintah sebagai pelaksana negara.
Berikut ini adalah fungsi hukum Islam.
1.     Sebagai Upaya Pencegahan (Zawajir)
Sistem sanksi dalam Islam dijatuhkan di dunia bagi si pendosa. Hal ini akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Itulah alasan mengapa sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawajir) karena sanksi akan mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal.
2. Sebagai Penebus Dosa (Jawabir)
Sistem sanksi dalam Islam pun berfungsi sebagai penebus. Dikatakan sebagai penebus karena sanksi yang dijatuhkan akan menggugurkan sanksinya di akhirat kelak. Atas dasar itu, seseorang yang telah mendapat sanksi syariat di dunia, maka gugurlah sanksinya di akhirat. 
Dari penjelasan tersebut, kita bisa melihat kekhasan hukum Islam dengan hukum positif yang ada di negeri ini. Sanksi dalam Islam dijatuhkan kepada pelaku walaupun terdapat saling rida karena yang melandasinya adalah semata-mata keimanan kepada Allah swt. 
Sanksi dibagi menjadi empat:
1) hudûd;
2) jinâyât;
3) ta‘zîr; dan
4) mukhâlafât.
Kadang-kadang, istilah hudûd, jinâyât, ta‘zîr dan mukhâlafât juga dikonotasikan untuk tindak pelanggarannya sendiri. Dengan demikian, keempat istilah tersebut masing-masing bisa diartikan dalam konteks sanksinya maupun tindak pelanggarannya.
Untuk itu, kasus perzinaan dan sanksi zina bisa disebut dengan hudûd.
Begitu pula untuk istilah lainnya.

1. Hudûd
Hudûd adalah sanksi atas kemaksiatan yang macam kasus dan sanksinya telah ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus hudûd tidak diterima adanya pengampunan atau abolisi. Sebab, hudûd adalah hak Allah Swt. Jika kasus hudûd telah disampaikan di majelis pengadilan, kasus itu tidak bisa dibatalkan karena adanya pengampunan atau kompromi.
 Hudûd dibagi menjadi enam:
(1) zina dan liwâth (homoseksual dan lesbian);
(2) al-qadzaf (menuduh zina orang lain);
(3) minum khamr;
(4) pencurian;
(5) murtad;
(6) hirâbah atau bughât. 
Pelaku zina yang berstatus perjaka atau perawan (ghayru muhshan) dikenai hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Pelaku zina yang berstatus suami atau istri, janda atau duda, dijatuhi sanksi rajam. Sanksi homoseksual dan lesbian adalah hukuman mati. Sanksi bagi pelaku qadzaf adalah cambuk 80 kali. Peminum khamr dijatuhi sanksi cambuk sebanyak 40 kali dan boleh dilebihkan dari jumlah itu. Tindak pencurian dikenai sanksi potong tangan jika telah memenuhi ‘syarat-syarat pencurian’ yang wajib dikenai potong tangan. Adapun jika pencurian itu belum memenuhi syarat, pencuri tidak boleh dikenai sanksi potong tangan. Misalnya, orang yang mencuri karena kelaparan, mencuri barang-barang milik umum, belum sampai nishâb (1/4 dinar), dan lain sebagainya tidak boleh dikenai hukuman potong tangan. 
Pelaku murtad dikenai hukuman mati jika tidak mau bertobat dan kembali ke pangkuan Islam dalam tenggat waktu tertentu. Hanya saja, syariah tidak membatasi tenggat waktu yang diberikan kepada si murtad untuk kembali kepada Islam.Pelaku tindak hirâbah (pembegalan) diberi sanksi berdasarkan tindak kejahatan yang ia lakukan. Jika mereka hanya mengambil harta saja, hukumannya adalah dipotong tangan kanan dan kaki kiri. Jika mereka hanya menebar teror dan ketakutan saja, dikenai hukuman pengasingan (deportasi ke tempat yang jauh). Jika mereka melakukan pembunuhan saja, sanksinya hukuman mati. Jika mereka melakukan pembunuhan dan perampokan harta, hukumannya dibunuh dan disalib. 
Pelaku bughât (memberontak) diperangi sampai mereka kembali ke pangkuan Islam atau ke pangkuan Khilafah yang sah. Hanya saja, perang melawan pelaku bughât berbeda dengan perang melawan orang kafir. Perang melawan pelaku bughât hanyalah perang yang bersifat edukatif, bukan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu, pelaku bughât tidak boleh diserang dengan senjata pemusnah massal atau serbuan nuklir dan roket; kecuali jika mereka menggunakan arsenal seperti ini. Jika mereka melarikan diri dari perang, mereka tidak boleh dikejar dan ditumpas sampai habis. Harta mereka tidak boleh dijadikan sebagai ghanîmah

2. Jinâyât
Jinâyât adalah penyerangan terhadap manusia. Jinâyât dibagi dua:
(1) penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan);
(2) penyerangan terhadap organ tubuh.
 Kasus jinâyât terhadap jiwa (pembunuhan), sanksinya ada tiga macam: qishash, diyat, atau kafarah. Pembunuhan sendiri diklasifikasi menjadi empat jenis;
 (1) pembunuhan sengaja;
 (2) mirip disengaja;
 (3) tidak sengaja;
 (4) karena ketidaksengajaan. 
Pada kasus pembunuhan sengaja, pihak wali korban boleh memilih antara qishash atau memaafkan dengan mengambil diyat, atau menyedekahkan diyatnya. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan, ia wajib membayar diyat sebanyak 100 ekor onta dan 40 ekor di antaranya telah bunting. Sanksi pembunuhan mirip sengaja (syibh al-’amad) adalah diyat 100 ekor unta, dan 40 ekor di antaranya bunting. Adapun pembunuhan tidak sengaja (khatha’) diklasifikasi menjadi dua macam: (1) Seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak ditujukan untuk membunuh seseorang, namun tanpa sengaja ternyata mengakibatkan terbunuhnya seseorang. Misalnya, ada orang memanah burung, namun terkena manusia hingga mati. (2) Seseorang yang membunuh orang yang dikiranya kafir harbi di dâr al-kufr, tetapi ternyata orang yang dibunuhnya itu telah masuk Islam. Pada jenis pembunuhan pertama, sanksinya adalah membayar diyat 100 ekor unta dan membayar kafarah dengan cara membebaskan budak. Jika tidak memiliki budak, pelaku harus berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. Dalam kasus kedua, sanksinya adalah membayar kafarah saja, dan tidak wajib diyat. Sanksi untuk pembunuhan karena ketidaksengajaan adalah diyat 100 ekor onta dan membebaskan budak. Jika tidak ada budak, wajib berpuasa selama 2 bulan berturut-turut. 
Adapun jinâyat terhadap organ tubuh, baik terhadap organ tubuh maupun tulang, sanksinya adalah diyat. Tidak ada qishash untuk penyerangan terhadap organ tubuh maupun tulang secara mutlak, kecuali pada kasus penyerangan terhadap gigi, dan kasus jarh (pelukaan di badan). Hanya saja, kasus penyerangan gigi atau jarh bisa saja dikenai diyat. Lalu kapan pada kasus penyerangan terhadap gigi dikenai qishash dan kapan dikenai diyat saja?
Menurut fukaha, jika penyerangannya secara sengaja, dikenai hukuman qishash; sedangkan jika tidak sengaja, dikenai diyat yang besarnya telah ditetapkan di dalam as-Sunnah. Jika orang yang dilukai tidak meminta qishash, pelaku penyerangan hanya wajib membayar diyat. Dalam kasus penyerangan pada kepala (asy-syijaj), sanksinya hanyalah diyat, dan tidak ada qishash. 
Kadar diyat atas penyerangan badan dan kepala ada yang telah ditetapkan di dalam as-Sunnah, ada pula yang belum ditetapkan. Jika telah ditetapkan dalam as-Sunnah, diyatnya sesuai dengan apa yang disebut; misalnya pada kasus jaifah dan pelukaan terhadap kelamin anak perempuan yang masih kecil. Adapun kasus penyerangan terhadap badan yang kadar diyat-nya tidak disebutkan oleh as-Sunnah, maka sanksinya adalah hukumah yang adil. 

3. Ta‘zîr 
Ta‘zîr adalah sanksi atas kemaksiatan yang di dalamnya tidak had dan kafarah. Pada dasarnya, sanksi ta‘zîr ditetapkan berdasarkan pendapat seorang qâdhi dengan mempertimbangkan kasus, pelaku, politik, dan sebagainya. Di dalam buku ini, Dr. Abdurrahman al-Maliki mengelompokkan kasus ta‘zîr menjadi tujuh:
(1) pelanggaran terhadap kehormatan;
(2) penyerangan terhadap nama baik;
 (3) tindak yang bisa merusak akal;
 (4) penyerangan terhadap harta milik orang lain;
(5) ganggungan terhadap keamanan atau privacy;
(6) mengancam keamanan Negara;
(7) kasus-kasus yang berkenaan dengan agama;
(8) kasus-kasus ta‘zîr lainnya. 

4. Mukhâlafât 
Dr. Abdurrahman al-Maliki memisahkan kasus mukhâlafât dari ta‘zîr. Pemisahan ini tentunya berbeda dengan sebagian besar fukaha yang memasukkan mukhâlafah dalam bab ta‘zîr. Menurut beliau, fakta mukhâlafât berbeda dengan ta’zir. Oleh karena itu, mukhâlafât berdiri sendiri dan terpisah dari ta‘zîr. Menurut beliau, mukhâlafât adalah tidak menaati ketetapan yang dikeluarkan oleh Negara, baik yang berwujud larangan maupun perintah.
Inilah gambaran umum yang bisa kita sarikan dari kitab Nizhâm al-’Uqûbât fî al-Islâm karya ‘Allamah Dr. ‘Abdurahman al-Maliki. Akhir kata, terciptanya keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya Negara yang kuat amat ditentukan oleh ketangguhan sistem peradilannya. Ketangguhan sistem peradilan suatu negara ditentukan oleh ketangguhan sistem sanksinya. Untuk itu, memahami sistem persanksian di dalam Islam merupakan perkara urgen yang telah menjadi sebuah keniscayaan.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Itulah beberapa hal penting terkait dengan hukum Islam. Memahami hukum Islam secara utuh membutuhkan perhatian dan keseriusan khusus. Tidak sedikit dari  umat Islam yang tidak peduli dengan masalah ini, meskipun sebenarnya setiap Muslim dituntut untuk memiliki pemahaman yang cukup tentang hukum Islam, minimal untuk mendasarinya dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.
Apa yang diuraikan di atas bukanlah dasar-dasar pokok untuk melaksanakan aturan- aturan hukum Islam, akan tetapi hanyalah sebagai pengantar untuk dapat memahami  hakikat hukum Islam. Karena itu, dibutuhkan perhatian khusus untuk dapat mengungkap aturan-aturan hukum Islam yang lebih rinci lagi. 

B.     Saran
Berdasarkan pembahasan mengenai prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam diatas, yang menjadi inti pemahaman prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam dapat diketahui atau diarahkan pada tujuan penyariatan syariat Islam itu sendiri dan apa yang akan dibawa hukum Islam untuk mencapai tujuannya.
Hal tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Islam telah meletakkan di dalam undang-undang dasarnya, beberapa prinsip yang mantap dan kekal, seperti prinsip menghindari kesempitan dan menolak mudarat, wajib berlaku adil dan bermusyawarah dan memelihara hak, menyampaikan amanah,
2.      Dalam dasar-dasar ajarannya, Islam berpegang dengan konsisten pada perinsip mementingkan pembinaan mental individu khususnya, sehingga ia menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat, karena apabila individu telah menjadi baik maka masyarakat dengan sendirinya akan baik pula.
3.      Syariat Islam, dalam berbagai ketentuan hukumnya, berpegang dengan konsisten pada prinsip memelihara kemaslahatan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.






DAFTAR PUSTAKA

Daud Muhammad, Prof. S.H, Hukum Islam, Rajawali Pres, Jakarta, 1998
Marzuki, DR. M.Ag, Makalah Memahami Hakikat Hukum Islam, diakses pada tanggal 04 Nopember 2012
Hakim Nurul, Makalah Prinsip-prinsip dan Asas-asas Hukum Islam, diakses pada tanggal 04 Nopember 2012



Like Us

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. ZONA INFORMASI PENDIDIKAN KESEHATAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger